Wednesday 8 March 2017

Tentang Pertanyaan "Kapan Hamil?"



Di Hari Perempuan ini, saya pun teringat pada sebuah pertanyaan yang senantiasa ditujukan pada perempuan yang sudah menikah: udah isi belum?


Saya tahu, pertanyaan semacam itu bak templat klasik yang keluar dari mulut karena masalah kebiasaan.Automatism. Seperti kalau kamu mengaduh saat jatuh, atau mengelus perut usai makan kenyang. Tetapi itu adalah kebiasaan yang belum tentu selalu baik. Bukan juga modalitas kesopanan yang menyenangkan.


Bagi mereka yang langsung hamil usai nikah, mungkin pertanyaan itu hanyalah sebatas angin lalu saja. Tinggal dijawab "iya" dan mereka akan segera menerima hadiah berupa ucapan selamat dan elusan di perut. Oh ya, kalau sedang sial, akan juga mendapatkan wejangan-wejangan sok tahu yang beberapa di antaranya merupakan mitos. Seperti, kalau perutnya lonjong maka anaknya lelaki, harus makan untuk porsi dua orang, dan juga jangan berkata-kata yang buruk, nanti anaknya jadi jelek. 



Tapi kekesalan atas wejangan-wejangan ajaib bak dalam dunia Harry Potter, Narnia, dan sekaligus Lord of The Rings itu masih jauh lebih baik ketimbang pertanyaan "udah isi belum" yang ditanyakan pada perempuan dan lelaki,yang tengah mengusahakan kehamilan. Hamil itu bukan sesuatu yang sulit, tetapi juga bukan sesuatu yang mudah. Kamu tidak bisa membuat orang bisa hamil hanya dengan memberikan tutorial layaknya tutorial tata rias ala Bella Hadid di Youtube, meskipun orang yang kamu nasehati itu sedang dalam masa subur sekali pun. Di antara berjuta-juta sperma yang masuk ke dalam vagina,hanya ada satu yang akan berhasil. Sulit? Nah, jelas lebih sulit daripada SNMPTN. Setidaknya jurusan idaman di kampus idaman itu masih menyediakan puluhan kursi.


Kamu bisa menjadi dokter dadakan dengan menasehati seseorang untuk tidak kecapekan, untuk berhubungan intim setiap hari, untuk minum obat penyubur, untuk makan-makanan yang dianggap menyuburkan, untuk mengangkat kaki setelah berhubungan seksual, hanya supaya kamu terlihat peduli. Tak mengapa kalau kamu memang ditanya soal cara agar cepat hamil. Tetapi kalau seseorang tak menanyakanmu tentang bagaimana cara agar cepat hamil, mengapa kamu tiba-tiba harus menjadi Obgyn dadakan? Kamu pikir tips darimu itu mencerahkan? Kamu pikir kamu akan bisa mengabulkan keinginan sepasang suami istri untuk hamil?


Justru yang ada, mereka malah merasa tertekan. Ada seorang kawan yang belum setahun menikah (bahkan baru setengah tahun!), sudah merasa galau karena belum hamil juga. Hal ini tak terlepas dari banyaknya orang yang berbasa-basi, bertanya padanya "sudah isi belum?". Mungkin bagi mereka yang bertanya, pertanyaan itu hanyalah sekadar kata-kata yang mudah dilupakan. Sama seperti kalau kamu bilang terima kasih usai membayar di kasir Indomart. Kamu lupa, tapi orang yang mengalami itu tidak. Terutama, perempuan. Bila tak lekas hamil, perempuan memiliki ketakutan kalau mereka tak subur. Padahal, belum tentu juga hal itu terjadi. Bisa saja prianya yang kurang subur. Bisa saja memang belum saatnya bagi dia untuk hamil. Lagipula, kalau pun dia tak bisa memiliki anak, hal itu tak akan membuatnya tak pantas disebut perempuan. Bisa atau tak bisa punya anak bukanlah tolok ukur tinggi rendahnya nilai perempuan.


Berhentilah menganggap pernikahan sekadar seperti ladang untuk menumbuhkan padi, ladang yang bisa diolah dan kemudian menghasilkan produk-produk pangan. Rahim perempuan bukanlah hanya tentang ladang pertanian, dan sperma lelaki juga bukan sekadar tentang bibit yang disebar di tanah. Berhentilah untuk terus menerus menganggap bahwa keberhasilan sebuah pernikahan dapat diukur dari cepat lambatnya seseorang hamil dan memiliki anak.


Kalau Anda manusia, tentunya bisa memahami hal ini bukan?

No comments:

Post a Comment