Wednesday 25 October 2017

Mereka yang Makmur dan Sempurna



Waktu kecil dulu, kita sangat menyukai cerita-cerita tentang superhero yang sempurna. Tentang putri yang sempurna.

Seiring dengan berjalannya waktu, kita pun tumbuh besar dan semakin menyadari bahwa para pahlawan dan putri dalam cerita, paket mainan rumah-rumahan, serta game tidaklah benar-benar ada. Manusia jahat ada. Manusia yang baik juga ada. Namun toh kejahatan dan kebaikan itu tidak mutlak.

Hanya saja, jauh di lubuk hati kita, kita masih mendamba keberadaan dua sosok itu dalam kehidupan nyata. Supaya hidup ini tidak terlalu menyebalkan dan kita barangkali, bisa punya panutan selain Captain America dan Bidadarinya Oki yang hanya rekaan belaka. Suatu keinginan massal yang kemudian disadari banyak pihak, mulai dari oknum media, oknum tim kreatif, dan para manusia oportunis yang tahu bagaimana cara memanfaatkan media sosial.

Masih lekat dalam ingatan saya gemerlapnya gaya hidup Anniesa Hasibuan dan sang suami, Andika Surachman yang diperlihatkan di Instagram. Pergi ke luar negeri secara rutin menenteng tas mewah. Baju-baju mewah. Kemewahan hidup mereka dianggap sebagai sesuatu yang wajar mengingat mereka adalah bos dari agen travel dengan cabang-cabang di beberapa kota. Kemudian ada pula Mario Teguh dan istri yang dicitrakan sebagai orang sukses, lulusan kampus elit luar negeri, dan punya jam terbang tinggi dalam bidang perbankan. Dan ya, meskipun hanya dibicarakan di Twitter dan media sosial lainnya, ada pula cerita tentang Wempy Dyocta Koto, pengusaha muda sukses yang sering menjadi motivator di mana-mana. Kemudian, ada lagi cerita Gen Halilintar (keluarga Halilintar), yang kabarnya punya peternakan sebesar kampus UI di Australia dan kafe di Inggris. Keluarga ini terdiri atas Ayah, Ibu, dan 11 orang anak, serta amat tenar di Youtube.

Usut punya usut, pasangan Andika-Anniesa rupanya punya utang besar karena menerapkan sistem money game (menawarkan paket umroh murah, kemudian menambal harganya dengan uang yang dibayar oleh calon jemaah baru), sehingga banyak calon jemaah umroh yang keberangkatannya ditunda hingga waktu yang tak dapat ditentukan. Utang mereka tidak main-main: hingga ratusan milliar rupiah.

Sementara itu, usai munculnya akun gosip yang membuka masa lalu Mario, serta kemunculkan anak kandung Mario Teguh dari istri pertama di publik, juga adik kandung Mario Teguh untuk menuntut kejujuran darinya, terbuka pula kenyataan tentang karier Mario Teguh yang ternyata tidak secemerlang itu. Begitu pula rekam jejak sang istri kedua, Linna Teguh, yang ternyata merupakan perempuan perebut istri orang. Padahal sebelumnya, pasangan suami istri ini digambarkan sebagai dua orang yang memulai semuanya dari nol, bersama-sama, dan mesra hingga tua. Melewati segala rintangan.

Kemudian terkait Wempy Dyocta Koto, sebuah akun Twitter bernama @startupwati membuka dan membahas tentang siapa sebenarnya Wempy. Ternyata, usaha yang dia jalankan tidak sebesar itu dan disinyalir bahwa dia mencari uang dari pekerjaan sebagai motivator - memotivasi orang-orang dengan mencontohkan dirinya sendiri.

Mengenai Gen Halilintar, sebetulnya belum ada fakta-fakta yang terkuak terkait mereka. Namun mereka sudah banyak diperbincangkan karena kehidupan mereka yang "too good to be true" - terlalu indah untuk jadi kenyataan.

Namun mengapa orang-orang tersebut bisa tenar? Mengapa mereka banyak dikagumi? Mengapa mereka yang dikagumi harus dicitrakan seindah itu? Seorang pribadi tangguh, from zero to hero. Pasangan suami istri yang solid dari bawah menuju kesuksesan. Keluarga yang solid, saling bekerja sama dan rukun tanpa masalah. Seolah hidup itu mudah sekali bila menjadi mereka. Seolah mereka tidak punya kekurangan.

Tentu saja mereka dicitrakan begitu karena kita semua suka dengan kesempurnaan dan cerita akhir yang indah. Kita terbiasa dengan cerita putri dan pahlawan yang sebelumnya ditempa kesusahan, tetapi dengan cinta dan kebaikan hati, maka mereka bisa menjemput akhir yang indah. Sangat indah.

Padahal, kenyataan tidaklah seindah itu. Setelah kita menikah, punya anak, melewati rintangan "sepiring berdua", hingga mencapai puncak kesuksesan, masalah akan selalu ada. Tidak ada keluarga yang benar-benar sempurna. Tidak ada pasangan suami istri yang kaya dan mesra selalu. Tidak ada seorang pengusaha kaya yang hanya duduk duduk menikmati passive income, termasuk kalau dia mendapat warisan perusahaan besar dari orangtua.

Terlalu lama dan rutin mendengar cerita-cerita "para orang sukses" di atas akan membuat kita merasa bahwa hidup kita tak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Kita merasa hidup sebagai pecundang. Kita merasa bahwa usaha kita sekeras apa pun selalu salah. Kita akan memberikan nilai rendah pada diri kita sendiri.

Padahal, setiap orang toh punya masalahnya masing-masing. Layaknya pepatah lama masyarakat Jawa, "sejatine urip kuwi mung sawang-sinawang". Hidup adalah bagaimana kita memandang sebuah persoalan. Apabila kita selalu memandang kebahagiaan yang dimiliki orang lain, lalu membandingkannya dengan kita, kita akan selalu merasa kurang. Sudah seharusnya kita menyadari bahwa setiap manusia memiliki porsi masalah dan kebahagiaan masing-masing.

Foto:pexels.com

Monday 28 August 2017

Belanja Sampai Buas



Tunjukkan dirimu yang sederhana. Rangkullah kodratmu yang asli. Tahanlah rasa ingat dirimu. Batasi keinginanmu -Lao Tzu


Beberapa waktu lalu, Nike mengadakan bazar diskon hingga 90% di Grand Indonesia. Namun bukan hanya diskon saja yang gila-gilaan. Keramaian orang gila-gilaan, begitu pula sikap buas mereka. Hasilnya? Sampah yang gila-gilaan.



Setiap kali sebuah produk didiskon besar-besaran, pastilah selalu ada antrean yang mengular, mungkin bisa dibandingkan dengan panjangnya kemacetan saat lebaran di jalur pantura. Bukan hanya di Indonesia, tapi hampir di seluruh tempat di Dunia. Manusia suka diskon karena mereka merasa menang saat membeli barang diskon itu. Mereka merasa bahwa sebagai pembeli, mereka untung besar. Sementara itu, si penjual, adalah yang merugi.


Padahal sebetulnya, mereka tidak membutuhkan barang itu sampai harus capek-capek antre. Mereka hanya tergiur dengan barang mahal yang didiskon. Sebagian besar dari mereka memiliki keinginan untuk bisa berpenampilan bak orang kaya, tetapi dengan cara yang murah.


Jean Baudrillard, seorang filsuf Prancis dalam La Societe de Consommation (The Consumer Society) menyatakan bahwa situasi masyarakat kontemporer dibentuk oleh kenyataan bahwa manusia sekarang dikelilingi oleh faktor konsumsi. Pada kenyataannya manusia tidak akan pernah merasa terpuaskan atas kebutuhan-kebutuhannya. Kalau dipikir-pikir, sepatu merek Nike bisa digantikan oleh sepatu lain dengan harga yang sama, bahkan lebih murah. Namun karena Nike dianggap sebagai merek yang mahal dan berkelas, maka Nike diinginkan. Saat Nike turun harga, dia menjadi barang yang berharga dan seolah sangat dibutuhkan, padahal, kebutuhan mengonsumsi Nike itu semu. Saat seseorang merasa puas karena bisa beli barang mahal dengan harga murah, kepuasan itu pun juga semu dan dipengaruhi oleh selera di sekeliling orang.


Lagipula toh, konsumen tak benar-benar beruntung dan produsen jelas tak merugi. Setinggi-tingginya potongan harga atas sebuah barang, harga akhir barang tersebut tetap lebih mahal ketimbang ongkos produksi yang telah dikeluarkan oleh produsen. Strategi seperti ini tidak salah kalau ditinjau dari kacamata produsen, toh memang produsen bertujuan untuk mencari untung. Namun kegilaan tingkat akut konsumen seperti yang terlihat dalam diskon besar-besaran Nike ini menandakan bahwa banyak orang yang betul-betul kehilangan akal sehat saat akan membeli barang.


Maka tak mengherankan kalau kita akan banyak melihat orang-orang yang miskin, sepertinya sulit memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi menggunakan barang-barang keren. Barang-barang keren dan bermerek seringkali dianggap sebagai bentuk pencapaian taraf hidup layak, dan bukannya hal-hal yang lebih esensial seperti makan sehat, rumah, dan juga pendidikan.


Dan tak lebih mengherankan lagi -saat melihat banyak orang berutang untuk memenuhi "kebutuhan" itu-.


Foto: detik.com

Wednesday 2 August 2017

Mencari Keseimbangan Hidup



Saat sedang berselancar di media sosial, saya menemukan tweet seorang influencer yang mengkritik tentang gaya hidup berlebih-lebihan. Tweet tersebut kemudian dikritik oleh banyak orang, salah satunya juga oleh influencer lain. Bagi mereka, influencer itu tak perlu mengatur-ngatur orang lain tentang bagaimana mengatur uang mereka, toh mereka tidak merugikan pihak lain. Duit-duit mereka.


Topik "kesederhanaan" selalu jadi perdebatan. Ada orang yang beranggapan kalau berlebih-lebihan itu tak baik, meskipun uang kita banyak dan kita masuk dalam richest list-nya Forbes. Ada juga yang berpikir kalau selama itu uang kita sendiri dan kita tidak ngutang, tidak ngemplang pajak atau mengambil hak orang lain, tak masalah kalau kita mau berboros-boros ria atau membeli barang yang mahalnya di luar nalar seperti Hermes Birkin dan Chateau Lafite Rothschild Vintage 1990 Red Wine.


Mengingat masalah kesederhanaan ini,  jadi ingat tentang konsep sufisme atau tassawuf. Sufisme sendiri merupakan aliran terkait penyucian jiwa untuk menuju ketenangan batin. Dikutip dari Oxford Islamic Studies Online, mereka yang menganut aliran sufi ini bertujuan untuk senantiasa memahami keberadaan Tuhan di dunia dengan cara berkontemplasi, fokus kepada jiwa. 


Menurut Yusuf Al Qardhawi, makna sufisme atau tasawuf dalam agama adalah memperdalam ke bagian rohaniah. Masih dilansir dari Fatawa Qardhawi, dalam Islam, ada keseimbangan dalam proses ini. Tasawuf bukan sekadar menjauhkan diri dari duniawi ini dan menjadi fakir bagi diri sendiri. Proses tasawuf haruslah seimbang.


Ya, seimbang. Kembali lagi pada masalah influencer tadi. Berhemat dan tidak menghabiskan uang kita untuk hal-hal mewah (yang sebetulnya tidak kita perlukan), itu tidak salah. Namun, menggunakan uang kita untuk menyenangkan diri sendiri dan orang lain juga tidak salah. Kalau sebuah barang mahal bisa kita beli tanpa berutang, tanpa mengabaikan kebutuhan utama, tak masalah. Setiap orang punya standar kebahagiaannya masing-masing. Asal standar itu tidak merugikan orang lain, mengapa harus diributkan?


Yang terpenting adalah keseimbangan. Seimbangkan antara kehidupan sosial Anda dengan waktu luang untuk berkontemplasi. Seimbangkan waktu untuk menyenangkan diri dengan waktu untuk bekerja dan berusaha. Seimbangkan antara keinginan untuk memanjakan diri dengan barang-barang mewah dengan membantu orang lain meringankan beban hidup mereka.


Hidup yang berkualitas bukanlah hidup yang digunakan hanya untuk bekerja, berhemat, dan kata kerja lain yang dianggap produktif. Hidup ini akan sangat berarti apabila kita mampu menyeimbangkan setiap hal di dalamnya.

Wednesday 8 March 2017

Tentang Pertanyaan "Kapan Hamil?"



Di Hari Perempuan ini, saya pun teringat pada sebuah pertanyaan yang senantiasa ditujukan pada perempuan yang sudah menikah: udah isi belum?


Saya tahu, pertanyaan semacam itu bak templat klasik yang keluar dari mulut karena masalah kebiasaan.Automatism. Seperti kalau kamu mengaduh saat jatuh, atau mengelus perut usai makan kenyang. Tetapi itu adalah kebiasaan yang belum tentu selalu baik. Bukan juga modalitas kesopanan yang menyenangkan.


Bagi mereka yang langsung hamil usai nikah, mungkin pertanyaan itu hanyalah sebatas angin lalu saja. Tinggal dijawab "iya" dan mereka akan segera menerima hadiah berupa ucapan selamat dan elusan di perut. Oh ya, kalau sedang sial, akan juga mendapatkan wejangan-wejangan sok tahu yang beberapa di antaranya merupakan mitos. Seperti, kalau perutnya lonjong maka anaknya lelaki, harus makan untuk porsi dua orang, dan juga jangan berkata-kata yang buruk, nanti anaknya jadi jelek. 



Tapi kekesalan atas wejangan-wejangan ajaib bak dalam dunia Harry Potter, Narnia, dan sekaligus Lord of The Rings itu masih jauh lebih baik ketimbang pertanyaan "udah isi belum" yang ditanyakan pada perempuan dan lelaki,yang tengah mengusahakan kehamilan. Hamil itu bukan sesuatu yang sulit, tetapi juga bukan sesuatu yang mudah. Kamu tidak bisa membuat orang bisa hamil hanya dengan memberikan tutorial layaknya tutorial tata rias ala Bella Hadid di Youtube, meskipun orang yang kamu nasehati itu sedang dalam masa subur sekali pun. Di antara berjuta-juta sperma yang masuk ke dalam vagina,hanya ada satu yang akan berhasil. Sulit? Nah, jelas lebih sulit daripada SNMPTN. Setidaknya jurusan idaman di kampus idaman itu masih menyediakan puluhan kursi.


Kamu bisa menjadi dokter dadakan dengan menasehati seseorang untuk tidak kecapekan, untuk berhubungan intim setiap hari, untuk minum obat penyubur, untuk makan-makanan yang dianggap menyuburkan, untuk mengangkat kaki setelah berhubungan seksual, hanya supaya kamu terlihat peduli. Tak mengapa kalau kamu memang ditanya soal cara agar cepat hamil. Tetapi kalau seseorang tak menanyakanmu tentang bagaimana cara agar cepat hamil, mengapa kamu tiba-tiba harus menjadi Obgyn dadakan? Kamu pikir tips darimu itu mencerahkan? Kamu pikir kamu akan bisa mengabulkan keinginan sepasang suami istri untuk hamil?


Justru yang ada, mereka malah merasa tertekan. Ada seorang kawan yang belum setahun menikah (bahkan baru setengah tahun!), sudah merasa galau karena belum hamil juga. Hal ini tak terlepas dari banyaknya orang yang berbasa-basi, bertanya padanya "sudah isi belum?". Mungkin bagi mereka yang bertanya, pertanyaan itu hanyalah sekadar kata-kata yang mudah dilupakan. Sama seperti kalau kamu bilang terima kasih usai membayar di kasir Indomart. Kamu lupa, tapi orang yang mengalami itu tidak. Terutama, perempuan. Bila tak lekas hamil, perempuan memiliki ketakutan kalau mereka tak subur. Padahal, belum tentu juga hal itu terjadi. Bisa saja prianya yang kurang subur. Bisa saja memang belum saatnya bagi dia untuk hamil. Lagipula, kalau pun dia tak bisa memiliki anak, hal itu tak akan membuatnya tak pantas disebut perempuan. Bisa atau tak bisa punya anak bukanlah tolok ukur tinggi rendahnya nilai perempuan.


Berhentilah menganggap pernikahan sekadar seperti ladang untuk menumbuhkan padi, ladang yang bisa diolah dan kemudian menghasilkan produk-produk pangan. Rahim perempuan bukanlah hanya tentang ladang pertanian, dan sperma lelaki juga bukan sekadar tentang bibit yang disebar di tanah. Berhentilah untuk terus menerus menganggap bahwa keberhasilan sebuah pernikahan dapat diukur dari cepat lambatnya seseorang hamil dan memiliki anak.


Kalau Anda manusia, tentunya bisa memahami hal ini bukan?